BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sejarah Islam telah melalui tiga
periode, yaitu periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800 M),
dan periode modern (1800-sekarang). Pada periode klasik, Islam mengalami
kemajuan dan masa keemasan. Hal ini ditandai dengan sangat luasnya wilayah
kekuasaan Islam, adanya integrasi antarwilayah Islam, dan adanya kemajuan di
bidang ilmu dan sains.
Pada abad pertengahan, Islam
mengalami kemunduran. Hal ini ditandai dengan tidak adanya lagi kekuasaan Islam
yang utuh yang meliputi seluruh wilayah Islam, dan terpecahnya Islam menjadi
kerajaan-kerajaan yang terpisah. Kerajaan-kerajaan itu antara lain: Dinasti
Usmani di Turki, Dinasti Safawi di Persia, Dinasti Mughol di India.
Kerajaan-Kerajaan tersebut
merupakan tiga kerajaan terbesar pada masa itu. Dan keadaan politik umat Islam
secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya
tiga kerajaan besar Islam tersebut. Puncak kemajuan yang dicapai oleh Kerajaan
Usmani terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520-1566 M),
puncak kemajuan Kerajaan Safawi pada masa pemerintahan Abbas I (1588-1628 M),
dan puncak kemajuan Kerajaan Mughal pada masa Sultan Akbar (1542-1605 M).
Setelah masa tiga orang raja besar
di tiga kerajaan tersebut, kerajaan tersebut mulai mengalami kemunduran. Akan
tetapi, proses kemunduran itu berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda. Di
Kerajaan Mughal, setelah Akbar, untuk beberapa lama pemerintahan masih dipegang
oleh raja-raja besar, yaitu Jehengir (1605-1628 M), Syah Jehan (1628-1658 M)
dan Aurangzeb (1658-1707 M). Ketiga raja Mughal ini masih dapat mempertahankan
kemajuan yang dicapai pada masa Akbar. Baru setelah Aurangzeb, Kerajaan Mughal
mengalami kemunduran yang agak drastis. Kerajaan ini berakhir pada tahun 1858
M.
Kerajaan Usmani, setelah Sultan
Sulaiman al-Qanuni wafat masih tetap kuat, bahkan masih mampu melakukan
ekspansi ke beberapa daerah Eropa Timur. Berbeda dengan dua kerajaan besar yang
lain, Kerajaan Usmani adalah yang terbesar. Karena itu, meskipun banyak
mengalami kemunduran yang cukup drastis di akhir abad ke-17 dan abad ke-18 M,
ia tetap dipandang sebagai sebuah Negara besar yang disegani lawan. Kerajaan
ini baru berakhir pada abad ke 20-M.
Kemunduran yang paling drastis di
alami Kerajaan Safawi. Setelah Abbas, raja-raja Kerajaan Safawi adalah
orang-orang yang lemah yang mengakibatkan kerajaan ini dengan cepat mengalami
kemunduran. Hanya satu abad setelah ditinggal Abbas, kerajaan ini mengalami
kehancuran.
Untuk mengetahui perkembangan dari
awal berdirinya sampai kemunduran ketiga kerjaan tersebut tentu perlu adanya
pengkajian lebih rinci. Oleh karena itu dalam makalah ini akan dibahas
pembahasan mengenai sejarah perkembangan tiga kerajaan besar islam pada abad
pertengahan.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
- Bagaimana sejarah perkembangan Kerajaan Turki Ustmani di Turki?
- Bagaimana sejarah perkembangan Kerajaan Safawi di Persia?
- Bagaimana sejarah perkembangan Kerajaan Mughol di India?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah:
- Untuk mengetahui sejarah perkembangan Kerajaan Turki Ustmani di Turki
- Untuk mengetahui sejarah perkembangan Kerajaan Safawi di Persia
- Untuk mengetahui sejarah perkembangan Kerajaan Mughol di India
1.4 Manfaat
Adapun manfaat dibuatnya makalah ini adalah:
- Mengetahui tiga kerajaan besar Islam diabad pertengahan.
- Memberikan pengetahuan dan wawasan yang lebih bagi penulis dan rekan mahasiswa yang lain tentang sejarah peradaban islam pada abad pertengahan yang ditandai dengan munculnya tiga kerajaan besar.
- Bisa mengkaji negara-negara yang dulunya dikuasai oleh tiga kerajaan besar tersebut.
BAB
2
PEMBAHASAN
Dinasti Usmani berasal dari suku
bangsa pengembara Qayigh Oghuz yang
dipimpin oleh Sulaiman Syah. Dia mengajak anggota sukunya untuk menghindari
serbuan bangsa Mongol yang menyerang dunia Islam yang berada di bawah kekuasaan
Dinasti Khawarizmi Syah pada tahun 1219-1220. Sulaiman dan anggota sukunya lari
ke arah barat dan meminta perlindungan kepada Jalaludin, pemimpin terakhir
Dinasti Khawarizmi Syah di Transoxiana. Jalaluddin menyuruh Sulaiman agar pergi
ke arah barat (Asia Kecil), kemudian mereka menetap disana dan pindah ke Syam
dalam rangka menghindari serangan Mongol. Dalam usahanya pindah ke Syam itu,
pemimpin orang-orang Turki mengalami kecelakaan dan hanyut di sungai Eufrat
yang tiba-tiba pasang karena banjir besar pada tahun 1228. Akhirnya mereka
terbagi menjadi dua kelompok, yan pertama ingin pulang ke negeri asalnya, dan
yang kedua meneruskan perjalanannya ke Asia Kecil. Kelompok kedua berjumlah
sekitar 400 keluarga yang dipimpin oleh Ertoghol bin Sulaiman. Mereka
menghambakan dirinya pada Sultan Alauddin dari Dinasti Saljuk Rum yang
pemerintahannya berpusat di Konya, Anatolia, Asia Kecil. Tatkala dinasti saljuk
berperang melawan Romawi Timur (Bizantium), Ertoghol membantunya, sehingga
Dinasti Saljuk mengalami kemenangan. Sultan merasa senang dan memberinya
wilayah kekuasaan yang berbatasan dengan Bizantium, dan mereka menjadikan Sogud
sebagai pusat pemerintahannya (Ali Sodikin, dkk, 2003:152).
Ertoghol yang meninggal pada tahun
1289 meninggalkan seorang putra bernama Usman. Dari nama Usman inilah kemudian
muncul Dinasti Usmani. Usman ini pula yang dianggap sebagai pendiri Dinasti
Usmani. Sebagaimana ayahnya, dia banyak berjasa kepada Sultan Alauddin dengan
keberhasilannya menaklukkan benteng-benteng Bizantium. Pada tahun 1300, bangsa
Mongol menyerang Dinasti Saljuk, dan Sultan Alauddin terbunuh. Dinasti Saljuk
pun terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil. Pada saat itu, Usman menyatakan
kemerdekaannya dan berkuasa penuh atas daerah-daerah yang didudukinya. Sejak
itulah Dinasti Usmani dinyatakan berdiri dan penguasa pertamanya adalah Usman
bin Ertoghol atau yang dikenal dengan sebutan Usman I (Ali Sodikin, dkk,
2003:151).
a.
Perluasan
Wilayah
Setelah Usman mengumumkan dirinya
sendiri sebagai Padyisah Al-Usman (Raja Besar Keluarga Usman), dia mulai
memperluas wilayahnya dengan cara mengirimkan surat kepada pemimpin daerah
sekitarnya yang berisi 3 pilihan, yaitu tunduk dan memeluk agama Islam,
membayar jizyah, atau diperangi. Untuk mendukung hal itu, anak Usman, Orkhan
yang saat itu menjabat sebagai panglima perang membentuk pasukan tangguh yang
dikenal dengan Yeniseri. Pasukan tersebut merupakan tentara utama Dinasti
Usmani yang terdiri dari bangsa Georgia dan Armenia yang baru masuk islam. Para
pasukan Yeniseri tersebut dididik dengan keras. Mereka diwajibkan belajar
ilmu-ilmu dunia dan juga ilmu-ilmu
agama. Mereka juga dididik oleh para tentara-tentara yang sudah berpengalaman,
sehingga tak diragukan lagi kemampuan fisik mereka jauh diatas tentara-tentara
lainnya (Syafiq A. Mughni, 1997: 54).
Meskipun baru didirikan, Dinasti
Usmani begitu kuat dan sangat ditakuti. Banyak dari mereka yang tunduk dan memeluk
islam, sebagian yang lain mau membayar jizyah, tetapi ada pula yang bersekutu
dengan suku Tartar untuk melawannya. Usman pun tak gentar menghadapinya, dan
akhirnya berhasil menaklukkan musuh-musuhnya. Usman beserta anaknya, Orkhan,
menyerang daerah barat Bizantium hingga selat Bosphorus. Daerah ini adalah
bagian bumi Eropa yang pertama kali diduduki Dinasti Usmani (Samsul Munir,
2009:195).
Ekspansi yang lebih besar terjadi
pada masa Sultan Murad I. Di masa ini, Dinasti Usmani berhasil menguasai Balkan,
Andrianopel (sekarang bernama Edirne, Turki), Macedonia, Sofia (Bulgaria), dan
seluruh wilayah Yunani. Melihat kemenangan yang diraih Sultan Murad I,
kerajaan-kerajan Kristen di Balkan dan Eropa timur menjadi murka. Mereka lalu
menyusun kekuatan yang terdiri atas Hungaria, Bulgaria, Serbia, Transylvania,
dan Wallacia (Rumania) untuk menggempur pasukan Usmani. Meskipun Sultan Murad I
gugur dalam pertempuran, pihak Usmani tetap meraih kemenangan. Ekspansi
berikutnya dilanjutkan oleh putranya, Bayazid I. Pada tahun 1931, pasukan
Bayazid I dapat merebut benteng Philadelpia dan Gramania atau Kirman (Iran).
Dengan demikian, Dinasti Usmani secara bertahap tumbuh menjadi kerjaaan besar
(Ali Sodikin, dkk, 2003:155).
Puncak ekspansi Dinasti Usmani
yaitu pada masa Sultan Muhammad II yang dikenal dengan gelar Al-Fatih (sang
penakluk). Pada masanya, dilakukan ekspansi secara besar-besaran. Kota penting
yang ditaklukkannya yaitu Konstantinopel. Sultan Muhammad Al-Fatih masih
berumur 17 Tahun ketika menaklukkan Konstantinopel pada tanggal 28 Mei 1453.
Setelah memasuki kota, Sultan Muhammad Al-Fatih mengganti nama kota menjadi
Istambul, dan menjadikannya sebagai ibukota Dinasti Usmani. Sultan juga
mengubah gereja terbesar dan termegah waktu itu, Hagia Sophia, menjadi masjid
(Samsul Munir, 2009:199).
Ada lima faktor yang menyebabkan
Dinasti Usmani berhasil melakukan perluasan wilayah-wilayah Islam. Diantaranya
adalah sebagai berikut:- Kemampuan orang-orang turki dalam strategi perang yang dikombinasikan dengan cita-cita memperoleh ghanimah (harta rampasan perang).
- Sifat dan karakter orang-orang Turki yang selalu ingin maju dan tidak pernah diam serta gaya hidupnya yang sederhana, sehingga memudahkan tujuan penyerangan.
- Semangat jihad dan ingin mengembangkan Islam.
- Letak Istambul yang sangat strategis sebagai ibukota kerajaan. Istambul terletak di antara dua benua dan dua lautan, dan pernah menjadi pusat kebudayaan Macedonia, Romawi Timur, maupun Yunani.
- Kondisi kerajaan-kerajaan di sekitarnya sedang dalam kekacauan, sehingga memudahkan penaklukannya (Ali Sodikin, dkk, 2003:156).
b.
Sistem
Pemerintahan
Bentuk kerajaan Turki Usmani
didasrkan kepada sistem feodal yang ditiru langsung dari kerajaan Bizantium.
Dalam sistem pemerintahan, sultan adalah penguasa tertinggi dalam bidang agama,
politik, pemerintahan, bahkan masalah-masalah perekonomian (Ratu Suntiah, dkk,
:139). Raja-raja Dinasti Usmani bergelar Sultan sekaligus Khalifah. Sultan
menguasai kekuasaan duniawi, sedangkan Khalifah menguasai bidang
agama/spiritual/ukhrawi. Mereka mendapatkan kekuasan secara turun-temurun, akan
tetapi tidak harus putra pertamanya yang berhak menjadi penggantinya. Ada
kalanya putra kedua atau putra ketiga yang menjadi pengganti. Bahkan pada
perkembangan selanjutnya, pergantian kekuasaan diserahkan pada saudara sultan,
bukan anaknya (Ali Sodikin, dkk, 2003:157).
Dalam menjalankan pemerintahannya,
sultan/khalifah dibantu oleh seorang mufti atau yang lebih dikenal Syaikhul
Islam dan Shadrul Alam. Syaikhul Islam mewakili sultan/khalifah dalam melaksanakan
wewenang agamanya, sedangkan Shadrul Alam (perdana menteri) mewakili kepala
negara dalam menjalankan wewenang dunianya (Ali Sodikin, dkk, 2003:157).
c.
Hasil
Peradaban
Meskipun Dinasti Usmani berkuasa
cukup lama, yaitu sejak tahun 1299 hingga tahun 1922, tidak berarti bahwa
peradabannya maju pesat seperti Dinasti Abbasi. Hal ini dikarenakan politik
ekspansinya yang tidak diikuti dengan pembinaan wilayah taklukannya, di samping
para sultan setelah penaklukan Konstantinopel sultannya lemah-lemah. Namun demikian,
tingkat kemakmuran pemerintahannya lebih baik dibandingkan dengan seluruh
bagian Eropa yang dikuasi oleh kaum Kristen. Demikian juga masyarakat Kristen
yang berada di bawah kekuasaan Usmani lebih banyak mendapatkan hasil bumi,
kemerdekaan pribadi, dan hasil usaha lainnya, dibandingkan dengan teman-teman
mereka yang berada pada daerah kekuasaan Kristen (Ali Sodikin, dkk, 2003:157).
Adapun ulama dan karya fenomenal
pada masa Dinasti Usmani yaitu Mustafa Ali (ahli sejarah, kitab Kunh Al-Akbar), Evliya Chelebi (ahli
ilmu sosial, kitab Seyabat Name),
Arifi (sejarawan, kitab Shah-name-I-Al-I
Osman). (Jaih Mubarok, :206-207).
Selain meninggalkan buku-buku
sebagai kekayaan sejarah, Dinasti Usmani juga meninggalkan sejumlah bangunan
yang memperlihatkan keunggulan penguasaan teknologi pada zamannya, seperti
Masjid Hagia Sophia, Masjid Agung Sultan Al-Fatih, Masjid Abu Ayyub Al-Anshari,
Masjid Bayazid, dan Masjid Sulaiman Al-Qanuni, yang merupakan masjid
berarsitektur tinggi dengan menggunakan “Kubah Batu” (ciri gereja Kristen) yang
menggambarkan persaingan antara Islam dan Kristen (Jaih Mubarok, :207).
d.
Fase
Kemunduran
Faktor-faktor yang menyebabkan
kerajaan Turki Usmani mengalami kemunduran yaitu: Wilayah kekuasaan yang sangat
luas; kerajaan Turki Usmani sering terlibat perang secara terus-menerus
sehingga susah untuk menjaga daerah yang telah dikuasai. Kelemahan para
penguasa; Sepeninggal Sulaiman Al-Qanuni, Dinasti Usmani diperintah oleh
sultan-sultan yang lemah, baik kepemimpinannya maupun kepribadiannya, sehingga
mudah ditaklukkan bangsa lain. Heterogenitas penduduk; sebagai kerajaan yang
sangat besar, tentunya masyarakatnya terdiri dari berbagai agama, aras, etnis
yang berbeda sehingga diperlukan pengambilan keputusan yang benar-benar
bijaksana. Budaya korupsi; korupsi merupakan hal yang umum terjadi dalam
Dinasti Usmani, sehingga mengakibatkan rapuhnya moral pemerintah. Pemberontakan
tentara Yeniseri; tentara Yeniseri adalah tentara terkuat, sehingga jika para
pasukan Yeniseri memberontak pasti pemerintah kalah. Merosotnya perekonomian;
akibat perang yang tiada henti, perekonomian merosot karena penguasa hanya
mementingkan perang. Stagnasi dalam lapangan ilmu dan teknologi; Dinasti usmani
kurang berhasil dalam mengembangkan ilmu dan teknologi, sehingga tidak mampu
menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang semakin maju (Samsul Munir,
2009:208-209).
Dinasti Safawiyah di Persia berdiri
sejak tahun (1502-1722 M). (Hasan ibrahim hasan. 1989:336). Dinasti Safawiyah merupakan kerajaan
islam di persia yang cukup besar. Awalnya kerajaan Safawi brasal dari sebuah
gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan. Tarekat ini
diberi nama tarekat Safawiyah, yang diambil dari nama Safawi itu terus
dipertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan nama itu terus
dilestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan, yakni kerajaan
safawi. Shafi Ad-Din merupakan keturunan dari Imam Syiah yang keenam, Musa
Al-Kazhim gurunya bernama Syaikh Tajuddin Ibrahim zahidi (1216–1301). Shafi
ad-Din mendirikan tarekat safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus
mertuanya yang wafat pada tahun 1301 M. Pengikut tarekat ini sangat teguh
memegang ajaran agama. Tarekat safawiyah diambil dari nama pendirinya, safi
ad-Din dan nama syafawi terus di pertahankan sampai tarekat ini menjadi gerakan
politik. Nama itu terus di lestarikan setelah gerakan ini berhasil mendirikan
kerajaan (Badri Yatim.2000:138).
Di persia muncul suatu dinasti yang
kemudian merupakan suatu kerajaan besar di dunia islam. Dinasti ini berasal
dari seorang sufi syekh ishak safiuddin dari ardabil di azerbaijan yang
beraliran syi’ah dan mempunyai pengaruh besar di daerah persia (Nasution, op.cit.,:84)
Keadaan politik dinasti syafawi
mulai bangkit kembali setelah Abbas 1 naik tahta dari tahun 1587- 1629 yang
menata administasi negara dengan cara yang lebih baik (Marshal G.S hodson,
t.th.:38). Masa kekuasaan Abbas 1 merupakan puncak kejayaan kerajaan syafawi.
Secara politik ia mampu mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang
menggangu stabilitas negara dan berhasil merebut kembali wilayah wilayah yang
pernah di rebut oleh kerajaan lain pada masa raja raja sebelumnya. Usaha usaha
yang di lakukan Abbas 1 berhasil membuat kerajaan safawi menjadi kuat. Setelah
itu Abbas 1 mulai memusatkan perhatiannya keluar dengan berusaha merebut
kembali wilayah kekuasaannya yang hilang (Badri Yatim.1997:143).
Selama periode safawiyah di persia
ini (1502-1722 M) persaingan untuk mendapatkan kekuasaan antara turki dan
persia menjadi kenyataan. Peperangan ini berasal dari kebencian Salim 1 yang
berasal dari turki dan pengejaran terhadap seluruh umat muslim di syi’ah di
daerah kekuasaanya. Fanatisme sultan salim memaksanya untuk membunuh 40.000
orang yang di dakwa telah mengingkari ajaran ajaran sunni ( hasan ibrahim
hasan. 1989:336-337).
a.
Kemajuan
Dinasti Syafawi
Kemajuan
peradaban dinasti safawiyah tidak hanya terbatas dalam bidang politik tetapi
kemajuan dalam berbagai bidang:
1) Bidang
keagamaan
Pada masa Abbas,dalam bidang
keagamaan yang menanamkan sikap toleransi terhadap politik keagamaan tau lapang
dada yang amat besar. Paham syi’ah tidak lagi menjadi paksaan bahkan orang
sunni dapat hidup bebas mengerjakan ibadahnya (Hamka. 1981:70).
2) Bidang
arsitektur
Kerajaan safawi telah berhasil
menciptakan isfahan, ibukota kerajaan menjadi kota yang sangat indah. Di kota
ini berdiri bangunan bangunan besar dengan arsitektur bernilai tinggi dan indah
seperti masjid, rumah sakit, sekolah, jembatan raksasa di atas zende rud, dan
istana chihil sutun. Dalam kota isfahan terdapat 162 masjid, 48 akademi, 1802
penginapan dan 273 pemandian umum (Marshal G.S hodgson.1981:40).
3) Bidang
ekonomi
Kerajaan syafawi pada massa Abbas 1
ternyata telah memacu perkembangan perekonomian syafawi, terlebih setelah
kepulauan hurmuz di kuasai dan pelabuhan gumrun diubah menjadi bandar Abbas.
Yang merupakan salah satu jalur dagang laut antara timur dan barat yang biasa
di perebutkan oleh belanda, inggris, dan perancis sepenuhnya telah menjadi
milik kerajaan syafawi. Di samping sektor perdagangan, kerajaan syafawi juga
mengalami kemajuan di sektor pertanian terutama di daerah bulan sabit subur( Badri
Yatim.1997:144).
4) Bidang
ilmu pengetahuan
Berkembangnya ilmu pengetahuan masa
kerajaan syafawi tidak lepas dari suatu doktrin mendasar bahwa kaum syi’ah
tidak boleh taqlid dan pintu ijtihad selamanya terbuka. Kaum syi’ah tidak
seperti kaum sunni yang mengatakan bahwa ijtihad telah terhenti dan orang mesti
taqlid saja. Kaum syi’ah tetap berpendirian bahwasannya mujtahid tidak terputus
selamanya (Hamka. 1987:70).
Beberapa ilmuan yang selalu hadir
di majelis istana, yaitu: Baha Al-Din Al-Syaerazi seorang filosof dan Muhammad
Bagir Ibn Muhammad Damad, seorang filosof ahli sejarah, teolog seorang yang
pernah mengadakan observasi mengenai kehidupan lebah (Badri Yatim.1997:144).
5) Bidang
kesenian
Kemajuan tampak begitu jelas dengan
gaya arsitektur bangunannya, seperti terlihat pada masjid syah yang di bangun
tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat dalam bentuk kerajinan tangan,
kerajinan karpet, permadani, pakaian. Seni lukis mulai di rintis sejak zaman
Tamasp 1, raja ismail pada tahun 1522 M. Membawa seorang pelukis Timur ke
Tabriz, pelukis itu bernama Bizhard (Marshal G.S Hodson, t.t.:40). Pada zaman
Abbas 1 berkembanglah kebudayaan, kemajuan, dan keagungan pikiran mengenai seni
lukis, pahat, syair (Hamka.1987:70).
b.
Kemunduran
Dinasti Syafawi
Setelah Abbas 1, dinasti safawi
mengalami kemunduran. Sulaiman, pengganti Abbas 1, melakukan penindasan dan
pemerasan terhadap ulama sunni dan memaksakan ajaran syi’ah kepada mereka.
Penindasan semakin parah terjadi pada zaman sultan husein, pengganti sulaiman.
Penduduk afgan (saat itu bagian dari Iran) dipaksa untuk memeuk syi’ah dan ditindas.
Penindasan ini melahirkan pemberontakan yang di pimpin oleh Mahmud Khan (Amir
Kandahar) sehingga berhasil menguasai Herat, Masyhad, dan kemudian merebut
isfahan (1772 M). setelah itu, safawi diserang oleh Turki Usmani dan Rusia.
Wilayah Armenia dan beberapa wilayah azerbaijan direbut oleh Turki Usmani ,
sedangkan beberapa wilayah propinsi laut kaspia di jilan, mazandaran dan
asteraban direbut oleh Rusia (Ira M.Lapidus,op.cit.,:299).
Setelah sebagian besar wilayah
dikuasai oleh Afghan, Turki Usmani dan Rusia, Nadir Syah (dinasti Asfhariah)
karena mendapat dukungan dari suku Zand di Iran Barat menundukan dinasti
safawiyah. Nadir Syah (bergelar Syah Iran) memadukan Sunni-Syi’ah untuk mendapat
dukungan dari Afgan dan Turki Usmani; dan ia mengusulkan agar madzhab fiqih
ja’fari (Syi’ah) dijadikan madzhab hukum yang kelima oleh ulama Sunni. Dinasti
safawi pimpinan Nadir Syah kemudian di taklukan oleh dinasti Qajar (Ibid:300).
Dinasti Mughal berdiri seperempat
abad sesudah berdirinya Dinasti Syafawi. Jadi, di antara tiga
kerajaan besar Islam tersebut kerajaan inilah yang termuda. Dinasti Mughal
bukanlah kerajaan Islam pertama di anak Benua India (Badri Yatim,2008:145).
Ibrahim Lodi (cucu sultan Lodi),
sultan Delhi terakhir, memenjarakan sejumlah bangsawan yang menentangnya. Hal
ini memicu pertempuran antara Ibrahim Lodi dengan Zahirudin Babur (cucu Timur
Lenk) di panipazh (1526 M). Pada tanggal 21 April 1526 M terjadilah pertempuran
yang dahsyat di Panipazh. Ibrahim Lodi
beserta ribuan tentaranya terbunuh dalam pertempuran itu. Babur memasuki
kota Delhi sebagai pemenang dan menegakkan pemerintahannya di sana. Sejak
itulah berdiri dinasti Mughal di India, dan Delhi dijadikan ibu kota.
Dinasti ini memiliki sultan-sultan
yang besar dan terkenal pada abad ke-17, yaitu Akbar (1556-1606), Jengahir
(1605-1627), Syah Jehan (1628-1658), dan Aurangzeb (1659-1707) (Dedi Supriyadi,
2008:261).
Penguasa-penguasa Mughal setelah
Aurangzeb tidak berdaya dan tidak mampu mengembalikan supremasi Mughal.
Penguasa-penguasa Mughal sesudah Aungzeb antara lain:
Bahadur Syah (1707-1712), Azimus Syah (1712), Tihandar Syah (1713), Farukh
Syiyar (1713-1719), Muhammad Syah (1719-1748). Pengganti Muhammad Syah adalah
Ahmad Syah (1748-1754), diteruskan Alamgir II (1754-1759), Sah Alam
(1761-1806). Mulai pada tahun 1761 kerajaan Mughal yang sudah tidak berdaya
diserang oleh Ajmad Shah Durrani dari Afghan pada pertempuran Pannipat. Sejak
itu pelan tapi pasti Dinasti Mughal hancur dan lenyap dari India (Ali Sodikin,
dkk, 2003:219-220).
a.
Kemajuan
Kerajaan Mughal
Kemajuan yang dicapai pada masa
Dinasti Mughal merupakan sumbangan yang berarti dalam mensyiarkan dan membangun
peradaban Islam di India.
Kemajuan-kemajuan tersebut antara lain :
1) Bidang
Politik dan Militer
Sistem yang menonjol adalah politik
sulh e-kul atau toleransi universal,yaitu pandangan yang menyatakan bahwa
derajat semua penduduk adalah sama. Sistem ini sangat tepat karena mayoritas
masyarakat India adalah Hindu sedangkan Mughal adalah Islam (Ali Sodikin, dkk,
2003:220). Dalam urusan pemerintahan, pada masa Akbar menyusun pentadbiran
secara teratur yang jarang taranya, sehingga Inggris satu setengah abad
kemudian setelah menaklukan India, tidak dapat memilih jalan lain, hanya
meneruskan administrasi Sultan Akbar (Dedi Supriyadi, 2008:262).
Di bidang militer, pasukan Mughal
dikenal sebagai pasukan yang kuat. Akbar Khan menjalankan pemerintahan bersifat
militeristik, pemerintahan pusat dipimpin oleh raja; pemerintahan daerah
dipimpin oleh kepala komandan (Sipah salat); dan pemerintahan sub-daerah
dipimpin oleh komandan (Faudjat) (1). Di samping itu, Akbar pun membentuk Din Ilahi dan juga mendirikan Mansabdhari (lembaga pelayanan umum yang
berkewajiban sejumlah pasukan)(Jaih Mubarok, 2008:244).
2) Bidang
Ekonomi
Kontribusi Mughal di bidang ekonomi
adalah memajukan pertanian terutama untuk tanaman padi, kacang, tebu,
rempah-rempah, tembakau dan kapas. Di samping pertanian, pemerintahan juga
memajukan industri tenun, pertambangan dan perdagangan. Di samping untuk
kebutuhan dalam negeri, hasil industri ini banyak diekspor ke luar negeri
seperti Eropa, Arabia, dan Asia Tenggara bersaman dengan hasil kerajinan,
seperti pakaian tenun dan kain tipis bahn gordyn yang banyak diproduksi di
Gujarat dan Bengal. Untuk meningkatkan produksi,Jehangir mengizinkan Inggris
(1611 M) dan Belanda (1617 M) mendirikan pabrik pengolahan hasil pertanian di
Surat (Ali Sodikin, dkk, 2003:220).
3) Bidang
Seni dan Arsitektur
Ciri yang menonjol dari arsitektur
Mughal adalah pemakaian ukiran dan marmer yang timbul dengan kombinasi
warna-warni. Bangunan sejarah yang ditinggalkan periode ini adalah Tajmahal di
Aqra, Benteng Merah, Jama Masjid, istana-istana, dan gedung-gedung pemerintahan
di Delhi (Ali Sodikin, dkk, 2003:221) .
Sementara dalam bidang sastra yang paling menonjol
adalah karya gubahan penyair istana, baik yang berbahasa Persia maupun bahasa
India. Pada masa Akbar berkembang bahasa
urdu, yang merupakan perpaduan dari berbagai bahasa yang ada di India. Penyair
India yang terkenal adalah Malik Muhammad Jayadi seorang sastrawan sufi yang
menghasilkan karya besar yang berjudul Padmavat , sebuah karya alegoris yang
mengandung pesan kebajikan jiwa manusia.
Karya seni yang masih dapat
dinikmati sekarang dan merupakan karya seni terbesar yang dicapai kerajaan
Mughal adalah karya-karya arsitektur yang indah dan mengagumkan. Pada masa
Akbar dibangun istana Fatpur Sikri di Sikri, villa dan mesjid-mesjid yang
indah. Pada masa Syah Jehan dibangun mesjid berlapiskan mutiara dan Taj Mahal
di Agra,Mesjid Raya Delhi dan istana indah di Lahore(Dedi Supriyadi, 2008:263).
4) Bidang
Ilmu Pengetahuan
Di bidang pengetahuan kebahasaan
Akbar telah menjadikan tiga bahasa nasional, yaitu bahasa arab sebagai bahasa
agama, bahasa Turki sebagai bangsawan dan bahasa Persia sebagai bahasa istana
kesusastraan (Dedi Supriyadi, 2008:221). Di bidang ilmu agama berhasil
dikodifikasikan hukum Islam yang dikenal dengan sebuan Fatwa-Alamgri (Ali
Sodikin, dkk, 2003:221).
b.
Kemunduran
dan Kehancuran Kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti
Mughal berada di puncak kejayaannya, para pelanjut Aurangzeb tidak sanggup
mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada
abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya
mulai merosot, suksesi kepemimpinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan,
gerakan sparatis Hindu di India Tengah, Sikh di belahan utara dan Islam di bagian
timur semakin lama semakin mengancam(Badri Yatim,2008:159).
Pada masa Aurangzeb, pemberontakan
terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi.
Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras
menerapka pemikiran puritanisme. Setelah iya wafat, penerusnya rata-rata lemah
dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkan (Badri Yatim,2008:159).
Sementara itu, para pedagang
inggris (EIC) untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di
India yang didukung oleh kekuatan bersenjata menjadi semakin kuat menguasai
wilayah pantai.( Ratu Suntiah, 2010:147).
Ada beberapa faktor yang
menyebabkan kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad
terakhir dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu:
·
Terjadi stagnasi dalam pembinaan
kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai
tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan
pasukan darat. Bahkan, mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan
buatan Mughal sendiri.
·
Kemerosotan moral dan hidup mewah di
kalangan elit politik, yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang
negara.
·
Pendekatan Aurangzeb yang berlampau
“kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya,
sehingga konflik antar agama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan
sebelumnya.
·
Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh
terakhir adalah orang-orang lemah dalam bidang kepemimpinan.
BAB
3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tiga kerajaan Islam penting
diciptakan pada akhir abad 15 dan awal abad 16: Kerajaan Usmani di Turki,
Kerajaan Mughal di India, dan Kerajaan Safawi di Persia. Tiga Kerajaan penting
tersebut tampak lebih memusatkan pandangan mereka pada tradisi demokratis
Islam, dan membangun imperium absolute. Hampir setiap segi kehidupan umum
dijalankan dengan ketepatan sistematis dan birokratis dan berbagai kerajaan
mengembangkan sebuah administrasi yang rumit. Ketiga kerajaan besar ini seperti
membangkitkan kembali kejayaan Islam setelah runtuhnya Bani Abbasiyah. Namun,
kemajuan yang dicapai pada masa tiga kerajaan besar ni berbeda dengan kemajuan
yang dicapai pada masa klasik Islam.
Kemajuan pada masa klasik jauh
lebih kompleks. Di bidang intelektual, kemajuan di zaman klasik. Dalam bidang
ilmu keagamaan, umat Islam sudah mulai bertaklid kepada imam-imam besar yang
lahir pada masa klasik Islam. Kalau pun ada mujtahid, maka ijtihad yang
dilakukan adalah ijtihad fi al-mazhab, yaitu ijtihad yang masih berada dalam
batas-batas mazhab tertentu. Tidak lagi ijtihad mutlak, hasil pemikiran bebas
yang mandiri. Filsafat dianggap bid’ah. Kalau pada masa klasik, umat Islam maju
dalam bidang politik, peradaban, dan kebudayaan, seperti dalam bidang ilmu
pengetahuan dan pemikiran filsafat, pada masa tiga kerajaan besar kemajuan
dalam bidang filsafat — kecuali sedikit berkembang di kerajaan Safawi Persia —
dan ilmu pengetahuan umum tidak didapatkan lagi. Kemajuan yang dapat
dibanggakan pada masa ini hanya dalam bidang politik, kemiliteran, dan
kesenian, terutama arsitektur.
DAFTAR
PUSTAKA
Suntiah, Ratu &
Maslani. 2014. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: Interes Media Foundation.
Mubarok, Jaih. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: CV. Pustaka
Islamika
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada
Rofiq. 2011. Peradaban Islam Masa Tiga Kerajaan. (Online)
Tersedia: http://artikel-blogserba.blogspot.com/2011/01/peradaban-islam-masa-tiga-kerajaan.html.
(Diakses tanggal 09 Desember 2015 pukul 08.00).
0 komentar:
Post a Comment