MAKALAH PENDIDIKAN PESANTREN


A.    Pengertian Pendidikan Pesantren
Pada dasarnya, pendidikan pesantren dirumuskan dari dua pengertian dasar yang terkandung dalam istilah “pendidikan” dan istilah “pesantren”. Kedua istilah itu di satukan dan arti keduanya menyatu dalam definisi pendidikan pesantren.
Pendidikan adalah usaha sadar, teratur dan sistematis yang dilakukan oleh orang dewasa yang diberi tanggung jawab untuk menanamkan akhlak yang baik dan nilai-nilai luhur, serta norma-norma susila kepada anak didik sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani untuk mencapai kedewasaan.
Sedangkan perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an, berarti tempat tinggal santri (Zamahsyari, 1984: 18). Secara etimologi pesantren berasal dari kata pe-santri-an, berarti “tempat santri” (Manfret, 1986: 16). Menurut sumber tersebut jika dilihat secara bahasa pengertian pesantren merujuk kepada keterangan tempat yaitu tempat di mana para santri menuntut ilmu atau menganyam pendidikan.
Mengenai asal usul kata “Santri”, banyak pendapat tentangnya, menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa Profesor Johns berpendapat, istilah “Santri”, berasal dari bahasa Tamil, “Sastri” yang berarti guru mengaji, sedangkan C.C. Berg berpendapat bahwa “Santri” berasal dari bahasa India “Shastri” yang berarti orang yang tahu buku-buku suci atau buku-buku agama. Robson berpendapat, kata “Santri ” berasal dari bahasa Tamil “Sattiri” yang berarti orang tinggal di rumah miskin atau bangunan secara umum.
Pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan khas Indonesia yang menjadi tempat para santri mendalami pendidikan agama Islam. Dari masa ke masa pesantren terus melakukan pembaharuan agar dapat tetap menunjukkan eksistensinya di tengah gempuran global. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat pesantren berpedoman pada ajaran agama dengan menekankan pada aspek moral dalam berinteraksi dan bergaul. Sehingga sikap dan perilaku masyarakat pesantren akan terjaga dengan baik.
Secara terminologi pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaquh fiddina) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari. Sistem pendidikan adalah totalitas interaksi dari seperangkat unsur-unsur dan bekerja sama secara terpadu, dan saling melengkapi satu sama lain menuju tercapainya tujuan pendidikan yang telah menjadi cita-cita bersama pelakunya.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam untuk mendalami dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman dan menekankan pada moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.

B.     Sejarah Pendidikan Pesantren
Sejarah pendidikan pesantren tidak akan lepas dari sejarah pesantren itu sendiri. Sejarah berdirinya pesantren sering diidentikkan dengan sejarah masuknya Islam di Indonesia. Lembaga-lembaga pendidikan Islam tumbuh dan berkembang sejak masuknya Islam di Indonesia, proses Islamisasi di Indonesia tidak bisa lepas dari peranan lembaga-lembaga tersebut. Lembaga ini belum muncul pada masa kontak pertama agama Islam dengan penduduk pribumi. Menurut Abdurrachman Mas’ud bahwa penelitian antropologi Clifford Geertz yang mengasosiasikan Islam dengan warisan-warisan Hindu-Budha. Bahwa Islam di Jawa sinkretis dan superfisial sebagaimana asumsi Geertz jelas tidak didasarkan pada pengamatan proses Islamisasi dan transformasi sosial yang panjang serta memisahkan Islam Jawa dari peta dunia Islam secara keseluruhan. Hal ini tentu tidak sah menurut pendekatan sejarah dan dengan waktu yang sama telah mengecilkan peran besar Walisongo yang telah disepakati oleh ilmuan-ilmuan muslim dan non muslim. Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan dan lembaga sosial seperti yang kita kenal sekarang merupakan lembaga yang dikenal di Jawa. Di luar Jawa lembaga yang memiliki misi sejenis dikenal dengan “surau” di Minangkabau, “dayah”, “meunasah” atau “rangkang” di Aceh. Sebagai pendidikan lanjut, pesantren sebagai tempat yang mengkonsentrasikan para santrinya untuk diasuh, dididik dan diarahkan menjadi manusia yang paripurna oleh kiai atau guru.
Data sejarah tentang kapan pesantren berdiri dan siapa serta di mana secara detail sulit untuk ditelusuri. Data dan keterangan tentang pesantren tidak didapatkan secara pasti. Dari hasil pendataan yang dilakukan oleh Subdit pesantren Depag R.I. pada tahun 1994/1995 diperoleh keterangan bahwa pondok pesantren tertua didirikan pada 1062 dengan nama pesantren Jan Tampes II di Pamekasan, Madura. Namun data ini memunculkan pertanyaan lebih lanjut: jika ada pesantren Jan Tampes II, tentu ada pesantren Jan Tampes I yang usianya lebih tua, sayangnya data tersebut tidak mengikutkan data tentang Jan Tampes I yang mungkin usianya lebih tua.

1.      Masa Walisongo.
Sejarah perkembangan pesantren di Indonesia tidak sampai sekarang tidak dapat dipisahkan dengan asal-usul pesantren yang dipengaruhi oleh sejarah Walisongo abad 15-16 Masehi. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa yang telah mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Mereka secara berturut-turut adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Derajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Dan Sunan Gunung Jati. Dari ke-9 wali tersebut Maulana Malik Ibrahim (meninggal 1419) sebagai spiritual father Walisongo, dan dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya-guru tradisi pesantren di Jawa.
Tradisi yang diperkenalkan Walisongo merupakan kelanjutan perjuangan Rasulullah yang diterjemahkan dalam menyebarkan agama Islam tanpa kekerasan dan berorientasi pada perdamaian sebagaimana keberadaan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Menurut Abdurrachman Mas’ud modeling pesantren yang dicontohkan oleh Walisongo antara lain :
a.    Orientasi kehidupan yang lebih mementingkan akhirat dari pada kehidupan dunia. Hal ini dapat dilihat dari pendirian masjid Demak pada tanggal 1 Zulqo’dah 1428 H. lebih dahulu dari pada mendirikan sebuah negara (pemerintahan) yaitu kerajaan Demak.
b.    Kepemimpinan dari seorang tokoh yang karismatik, seperti kepemimpinan Rasulullah dan Walisongo yang menjadi kiblat para santri sehingga kepemimpinan yang bersifat paternalisme dan patronclient relation yang sudah mengakar pada budaya Jawa.
c.    Misi Walisongo sebagai penerus Nabi Muhammad SAW. Di mana Walisongo berusaha menerangkan, memperjelas dan memecahkan persoalan masyarakat serta memberi model ideal bagi kehidupan sosial masyarakat.
d.    Walisongo berusaha menghilangkan dikotomi atau gap antara ulama dan raja atau yang kita kenal dengan istilah “Sabdo Pandito Ratu”. Hal ini sesuai dengan watak dasar agama tauhid yang tidak memberi ruang terhadap sekularisme.
e.    Pendidikan Walisongo yang mudah ditangkap dan dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan sabda nabi wa khatibinnas ‘ala qodri uqulihim.

2.      Masa Penjajahan
Pada masa penjajahan (kolonialisme). Kebijakan Pendidikan di Indonesia pada masa penjajahan berawal dari bentuk pendidikan sparadis oleh VOC melalui misi-misi agama. Pendidikan relatif lebih maju dilaksanakan dalam rangka politik etik tahun 1878, dengan dilahirkannya Comptabilitiet Wet atau undang-undang mengenai keuangan. Meskipun demikian dalam praktiknya penindasan terhadap pendidikan dan kesejahteraan rakyat tidak berubah.
Kebijakan pendidikan pasca masa Kolonial berusaha menekan dan mendiskreditkan Islam, pada masa ini oleh, sikap yang demikian dilakukan oleh Belanda tidak hanya menghambat perkembangan pendidikan Islam terutama pesantren tapi juga sistem pendidikan yang ditawarkan oleh pesantren dianggap terlalu jelek dan tidak mungkin untuk diterapkan sebagai pendidikan modern, karena kedua sistem pendidikan ini memiliki berbagai perbedaan seperti : biaya pendidikan, tujuan pendidikan, peserta didik dll.
Bahkan pesantren bersikap nonkooperatif dengan kolonial Belanda dengan cara tidak memperdulikan dan menutup kerja sama bahkan melakukan perlawanan. Memang tidak ada bukti secara kelembagaan bahwa pesantren memerintahkan santrinya melawan pemerintahan kolonial, namun hal itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, seperti melatih para santri dengan beladiri dan kanuragan, di samping tetap melaksanakan fungsinya sebagai lembaga pendidikan Islam.

3.      Masa kemerdekaan.
Pada awal kemerdekaan sampai dekade kedua, pondok pesantren tetap menempatkan diri sebagai alternatif dari sistem pendidikan seperti sekolah. Ketika pemerintah menawarkan sistem madrasah diterapkan di pesantren, sikap yang muncul adalah sikap curiga dan bertanya-tanya. Kebanyakan pesantren menganggap bahwa sistem sekolah adalah warisan kaum kafir kolonial, sementara mereka yang menirunya merupakan bagian dari kaum kafir itu. Sebuah jargon yang sangat populer di kalangan pesantren adalah:
من تشبه بقوم فهو منه ”barang siapa yang menyerupai sebuah kaum, maka mereka termasuk bagian dari kaum tersebut” sebagai dasar penolakan mereka untuk kerja sama. Baru memasuki era 1970-an pesantren mengalami perubahan yang signifikan. Perubahan ini dapat ditilik melalui dua sudut pandang: Pertama, pesantren mengalami perkembangan kuantitas yang luar biasa dan menakjubkan baik di wilayah pedesaan, pinggir kota dan perkotaan. Data Departemen Agama menyebutkan pada tahun 1977 jumlah pesantren sekitar 4.185 buah dengan jumlah santri sekitar 677.394 orang. Pada tahun 1985 jumlah pesantren sekitar 6.239 buah dan jumlah santri 1.084.801 orang. Pada tahun 1997 jumlah pesantren sekitar 9.388 buah, dan jumlah santri sekitar 1.770.768 orang. Dan pada tahun 2001 dari jumlah 11.312 pesantren memiliki santri sekitar 2.737.805 orang. Jumlah ini meliputi jumlah pesantren tradisional dan modern. Selain menunjukkan tingkat keragaman orientasi pimpinan pesantren dan independensi kiai dan ulama. Jumlah ini memperkuat argumentasi bahwa pesantren merupakan lembaga swasta yang sangat mandiri dan sejatinya merupakan praktik pendidikan berbasis masyarakat. Kedua menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Sejak tahun 1970-an bentuk-bentuk pendidikan yang diselenggarakan di pesantren sudah sangat bervariasi. Bentuk pesantren diklasifikasikan menjadi empat tipe yakni:
Tipe 1 pesantren yang menerapkan pendidikan formal dan mengikuti kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah agama seperti (MI, MTs, MA, dan PT Agama Islam) maupun yang juga memiliki sekolah umum (SD, SLP, SMU dan PT Umum), seperti pesantren Jombang dan pesantren Syafi’iyah. Tipe 2 pondok pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional, seperti pesantren Gontor Ponorogo, dan Darul Rahmat Jakarta. Tipe 3 pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama dalam bentuk madrasah diniah (MD) sepeti pesantren Lerboyo Kediri dan pesantren Tegal Rejo Magelang. dan Tipe 4 pesantren yang hanya menjadi tempat pengajian.
Pada era reformasi, setelah Departemen Agama memiliki unit tersendiri yang khusus mengurusi pondok pesantren dalam sub-derektorat, maka usaha-usaha untuk meningkatkan peran dan fungsi pondok pesantren menjadi lebih sistematis. Nama pembina pondok pesantren ialah Sub Direktorat pembinaan pondok pesantren dan madrasah (Subdit PP & MD) di bawah direktorat pembinaan perguruan agama Islam (Ditjen Bimbaga Islam) Departemen Agama RI. Dengan terbentuknya Sub Direktorat khusus pesantren ini, usaha-usaha pengembangan dan pemberdayaan pondok pesantren digalakkan dan diintensifkan. Rancangan program pondok pesantren dewasa ini, dan kemungkinan besar akan dipertahankan pada waktu mendatang, ialah mengembangkan dan membina namun tetap mempertahankan keragaman dan ciri khas masing-masing pesantren.

C.    Ciri-ciri Pendidikan Pesantren
Karakteristik atau ciri-ciri umum pondok pesantren adalah sebagai berikut:
1.    Adanya Kiai
Istilah Kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa. Kata Kiai mempunyai makna yang agung, keramat, dan dituahkan. Selain gelar Kiai diberikan kepada seorang laki-laki yang lanjut usia, arif, dan dihormati di Jawa. Gelar Kiai juga diberikan untuk benda-benda yang keramat dan dituahkan, seperti keris dan tombak. Namun demikian pengertian paling luas di Indonesia, sebutan Kiai dimaksudkan untuk para pendiri dan pemimpin pesantren, yang sebagai muslim terhormat telah membaktikan hidupnya untuk Allah SWT. serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran serta pandangan Islam melalui pendidikan.
Kiai berkedudukan sebagai tokoh sentral dalam tata kehidupan pesantren, sekaligus sebagai pemimpin pesantren. Dalam kedudukan ini nilai kepesantrenannya banyak tergantung pada kepribadian Kyai sebagai suri tauladan dan sekaligus pemegang kebijaksanaan mutlak dalam tata nilai pesantren. Dalam hal ini M. Habib Chirzin mengatakan bahwa peran kiai sangat besar sekali dalam bidang penanganan iman, bimbingan amaliyah, penyebaran dan pewarisan ilmu, pembinaan akhlak, pendidikan beramal dan memimpin serta menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh santri dan masyarakat. Dan dalam hal pemikiran kiai lebih banyak berupa terbentuknya pola pikir, sikap, jiwa serta orientasi tertentu untuk memimpin sesuai dengan latar belakang kepribadian kiai.

2.    Adanya santri
Santri merupakan sebutan bagi para siswa yang belajar mendalami agama di pesantren. Biasanya para santri ini tinggal di pondok atau asrama pesantren yang telah disediakan, namun ada pula santri yang tidak tinggal di tempat yang telah disediakan tersebut yang biasa disebut dengan santri kalong. Dalam menjalani kehidupan di pesantren, pada umumnya mereka mengurus sendiri keperluan sehari-hari dan mereka mendapat fasilitas yang sama antara santri yang satu dengan lainnya. Santri diwajibkan mentaati peraturan yang ditetapkan di dalam pesantren tersebut dan apabila ada pelanggaran akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.

3.    Adanya masjid
Masjid merupakan elemen yang tak dapat dipisahkan dengan pesantren dan dianggap sebagai tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktik ibadah lima waktu, khutbah dan shalat Jum’at dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik. Sebagaimana pula Zamakhsyari Dhofir berpendapat bahwa: “Kedudukan masjid sebagai pusat pendidikan dalam tradisi pesantren merupakan manifestasi universalisme dari sistem pendidikan Islam tradisional. Dengan kata lain kesinambungan sistem pendidikan Islam yang berpusat di masjid sejak masjid Quba’ didirikan di dekat Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW. tetap terpancar dalam sistem pesantren. Sejak zaman Nabi, masjid telah menjadi pusat pendidikan Islam”.

4.    Adanya pondok atau asrama
Sebuah pondok pada dasarnya merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional di mana para siswanya (santri) tinggal bersama di bawah bimbingan seorang atau lebih guru yang lebih dikenal dengan Kiai. Dengan istilah pondok pesantren dimaksudkan sebagai suatu bentuk pendidikan ke-Islaman yang melembaga di Indonesia. Pondok atau asrama merupakan tempat yang sudah disediakan untuk kegiatan bagi para santri. Adanya pondok ini banyak menunjang segala kegiatan yang ada. Hal ini didasarkan jarak pondok dengan sarana pondok yang lain biasanya berdekatan sehingga memudahkan untuk komunikasi antara Kiai dan santri, dan antara satu santri dengan santri yang lain.

5.    Pengajaran Kitab-kitab Klasik
Sejak tumbuhnya pesantren, pengajaran kitab-kitab klasik diberikan sebagai upaya untuk meneruskan tujuan utama pesantren yaitu mendidik calon-calon ulama yang setia terhadap paham Islam tradisional. Karena itu kitab-kitab Islam klasik merupakan bagian integral dari nilai dan paham pesantren yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Penyebutan kitab-kitab Islam klasik di dunia pesantren lebih populer dengan sebutan “kitab kuning”, tetapi asal usul istilah ini belum diketahui secara pasti. Mungkin penyebutan istilah tersebut guna membatasi dengan tahun karangan atau disebabkan warna kertas dari kitab tersebut berwarna kuning, tetapi argumentasi ini kurang tepat sebab pada saat ini kitab-kitab Islam klasik sudah banyak dicetak dengan kertas putih.
Sedangkan ciri-ciri  khusus pendidikan pesantren adalah isi kurikulum yang dibuat terfokus pada ilmu-ilmu agama, misalnya Ilmu Sintaksis Arab, Morfologi Arab, Hukum Islam, Tafsir Hadis, Tafsir Al-Qur’an dan lain-lain.
Dalam penjelasan lain juga dijelaskan tentang ciri-ciri pesantren dan juga pendidikan yang ada di dalamnya, maka ciri-cirinya adalah sebagai berikut:
a.       Adanya hubungan akrab antar santri dengan kiainya.
b.      Adanya kepatuhan santri kepada kiai.
c.       Hidup hemat dan sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren.
d.      Kemandirian sangat terasa dipesantren.
e.       Jiwa tolong-menolong dan suasana persaudaraan sangat mewarnai pergaulan di pesantren.
f.        Disiplin sangat dianjurkan.
g.      Keprihatinan untuk mencapai tujuan mulia. Hal ini sebagai akibat kebiasaan puasa sunat, zikir, dan i’tikaf, shalat tahajud dan lain-lain.
h.      Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam satu daftar rantai pengalihan pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi.

Ciri-ciri di atas menggambarkan pendidikan pesantren dalam bentuknya yang masih murni (tradisional). Adapun penampilan pendidikan pesantren sekarang yang lebih beragam merupakan akibat dinamika dan kemajuan zaman telah mendorong terjadinya perubahan terus-menerus, sehingga lembaga tersebut melakukan berbagai adopsi dan adaptasi sedemikian rupa. Tetapi pada masa sekarang ini, pondok pesantren kini mulai menampakkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mumpuni, yaitu di dalamnya didirikan sekolah, baik formal maupun nonformal.
Dengan adanya transformasi, baik kultur, sistem dan nilai yang ada di pondok pesantren, maka kini pondok pesantren yang dikenal dengan salafiyah (kuno) kini telah berubah menjadi khalafiyah (modern). Transformasi tersebut sebagai jawaban atas kritik-kritik yang diberikan pada pesantren dalam arus transformasi ini, sehingga dalam sistem dan kultur pesantren terjadi perubahan yang drastis, misalnya:
·   Perubahan sistem pengajaran dari perseorangan atau sorogan menjadi sistem klasikal yang kemudian kita kenal dengan istilah madrasah (sekolah).
·   Pemberian pengetahuan umum di samping masih mempertahankan pengetahuan agama dan bahasa arab.
·   Bertambahnya komponen pendidikan pondok pesantren, misalnya keterampilan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat, kesenian yang islami.

Lulusan pondok pesantren diberikan syahadah (ijazah) sebagai tanda tamat dari pesantren tersebut dan ada sebagian syahadah tertentu yang nilainya sama dengan ijazah negeri.

D.    Tujuan Pendidikan Pesantren
Tujuan pendidikan pesantren disampaikan oleh Mastuhu (2007:13) bahwa tujuan   pendidikan   pesantren   adalah  menciptakan   dan mengembangkan kepribadian muslim yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama dan menegakkan Islam dan kejayaan umat, mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
Tujuan pendidikan pesantren secara umum adalah menciptakan dan menyiapkan para kader yang berkepribadian muslim yang selalu menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup sehari-hari namun tidak meninggalkan peran ilmu pengetahuan. Selain itu pesantren memiliki itikad untuk tidak hanya memberikan penjelasan-penjelasan dalam rangka memperkaya pengetahuan para santri, namun untuk meninggikan moral kehidupan bermasyarakat, menghargai harkat dan martabat sesama manusia, mengajarkan bagaimana cara berperilaku dan memiliki akhlak yang baik dan yang paling utama adalah mengajarkan pada santri untuk tetap hidup sederhana.

E.     Pola atau Metode Pendidikan Pesantren
Pola pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren erat kaitannya dengan tipologi pondok pesantren. Berangkat dari pemikiran dan kondisi pondok pesantren yang ada, maka ada beberapa metode pembelajaran pondok pesantren:
1.    Metode Sorogan
Metode sorogan merupakan kegiatan pembelajaran bagi para santri yang lebih menitikberatkan pada pengembangan perseorangan (individu) di bawah bimbingan seorang ustadz atau kiai. Metode ini diselenggarakan pada ruang tertentu di mana di situ tersedia tempat duduk seorang kiai atau ustadz, kemudian di depannya terdapat bangku pendek untuk meletakkan kitab bagi santri yang menghadap santri-santri lain, baik yang  mengaji kitab yang sama maupun berbeda duduk agak jauh sambil mendengarkan apa yang diajarkan oleh kiai atau ustadz kepada temannya sekaligus mempersiapkan diri menunggu giliran untuk dipanggil.
Metode pembelajaran ini termasuk sangat bermakna, karena santri akan merasakan hubungan yang khusus ketika berlangsung kegiatan pembacaan kitab oleh dirinya sendiri di hadapan kiai atau ustadznya. Mereka tidak saja senantiasa dapat dibimbing dan diarahkan cara pembacaannya tetapi juga dapat diketahui dan dievaluasi perkembangan kemampuannya. Dalam situasi demikian, tercipta pula komunikasi yang baik antar santri dengan kiai atau ustadznya sehingga mereka dapat meninggalkan kesan yang mendalam pada jiwa santri maupun kiai atau ustadznya sendiri. Hal ini membawa pengaruh baik karena Kiai semakin tumbuh kharismanya, santri semakin simpati sehingga ia berusaha untuk selalu mencontoh perilaku gurunya.

2.    Metode Bandongan
Metode bandongan disebut juga dengan metode wetonan. Metode bandongan dilakukan oleh seorang kiai atau ustadz terhadap sekelompok peserta didik, atau santri, untuk mendengarkan dan menyimak apa yang dibacanya dari sebuah kitab. Seorang kiai atau ustadz dalam hal ini  membaca, menerjemahkan, menerangkan dan sering kali mengulas teks-teks kitab berbahasa Arab tanpa harakat (gundul). Sementara itu santri dengan memegang kitab yang sama, masing-masing melakukan pendhabithan harakat, pencacatan simbol-simbol kedudukan kata, arti-arti kata langsung di bawah kata yang dimaksud, dan keterangan-keterangan lain yang dianggap penting dan dapat membantu memahami teks. Posisi para santri pada pembelajaran dengan menggunakan metode ini adalah melingkari dan mengelilingi kiai atau ustadz sehingga membentuk halaqah (lingkaran). Dalam penerjemahannya kiai atau ustadz dapat menggunakan berbagi bahasa yang menjadi bahasa utama para santrinya.

3.    Metode Musyawarah
Metode musyawarah atau dalam bahasa lain bahtsul masa’il merupakan metode pembelajaran yang lebih mirip dengan metode diskusi atau seminar. Beberapa orang santri dengan jumlah tertentu membentuk halaqah yang dipimpin langsung oleh seorang kiai atau ustadz atau mungkin juga santri senior  untuk membahas atau mengkaji suatu persoalan yang telah ditentukan sebelumnya. Dalam pelaksanaannya, para santri dengan bebas mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan pendapatnya. Dengan demikian, metode ini lebih menitikberatkan pada kemampuan perseorangan dalam menganalisis dan memecahkan suatu persoalan dengan argumen logika yang mengacu pada kitab-kitab tertentu. Musyawarah juga dilakukan untuk membahas materi-materi tertentu dari sebuah kitab yang dianggap rumit  untuk memahaminya. Musyawarah pada bentuk kedua ini bisa digunakan oleh santri tingkat menengah untuk membedah topik materi tertentu. Untuk melakukan pembelajaran dengan menggunakan metode ini, kiai atau ustadz biasanya mempertimbangkan kondisi peserta, apakah awal, menengah atau tinggi selain juga topik atau persoalan (materi) yang dimusyawarahkan.

4.    Metode Pengajian Pasaran
Metode pengajian pasaran adalah kegiatan belajar para santri melalui pengkajian materi (kitab) tertentu pada seorang ustadz yang dilakukan oleh sekelompok santri dalam kegiatan yang terus menerus (marathon) selama tenggang waktu tertentu. Tetapi umumnya pada bulan Ramadhan selama setengah bulan, dua puluh hari, atau terkadang satu bulan penuh tergantung pada besarnya kitab yang dikaji. Pada kenyataannya, metode ini lebih mirip dengan metode bandongan, tetapi pada metode ini target utamanya adalah “selesai”.
Pengajian pasaran banyak dilakukan di pesantren-pesantren tua di Jawa dan dilakukan oleh kiai-kiai senior dibidangnya. Titik beratnya pada pembacaan, bukan pada pemahaman sebagaimana metode bandongan. Sekalipun dimungkinkan bagi para pemula untuk mengikuti pengajian ini, namun pada umumnya pesertanya terdiri dari mereka-mereka yang telah belajar atau membaca kitab tersebut sebelumnya. Kebanyakan pesertanya justru para kiai atau ustadz yang datang dari tempat-tempat lain yang sengaja datang untuk itu. Dengan kata lian, pengajian ini lebih banyak mengambil berkah atau ijazah dari kiai-kiai yang dianggap senior. Dalam perspektif lebih luas, pengajian pasaran ini dapat dimaknai sebagai proses pembentukan jaringan pengajaran kitab-kitab tertentu di antara pesantren –pesantren yang ada.

5.    Metode Hafalan (Muhafadzah)
Metode hafalan ini adalah kegiatan belajar santri dengan cara menghafal suatu teks tertentu di bawah bimbingan dan pengawasan kiai atau ustadz para santri diberi tugas untuk menghafal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu, hafalan yang dimiliki santri ini kemudian dihafalkan di hadapan kiai atau ustadz secara periodik atau insidental tergantung kepada petunjuk gurunya tersebut.

6.    Metode Demonstrasi/Praktik Ibadah
Metode Demonstrasi/Praktik Ibadah adalah cara pembelajaran yang dilakukan dengan memperagakan (mendemonstrasikan) suatu ketrampilan dalam hal pelaksanaan ibadah tertentu yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok di bawah petunjuk dan bimbingan ustadz.

7.    Metode Rihlah Ilmiah
Metode Rihlah Ilmiah (study tour) adalah kegiatan pembelajaran yang diselenggarakan melalui kegiatan kunjungan (perjalanan) menuju ke suatu tempat  tertentu dengan tujuan untuk mencari ilmu. Kegiatan kunjungan yang bersifat keilmuan ini dilakukan oleh para santri menuju ke suatu tempat untuk menyelidiki dan mempelajari suatu hal dengan bimbingan oleh ustadz.

8.    Metode Muhawarah/Muhadatsah
Metode muhawarah adalah latihan bercakap-cakap dengan bahasa Arab yang diwajibkan oleh pondok pesantren kepada para santri selama mereka tinggal di pondok pesantren. Para santri diwajibkan untuk bercakap-cakap baik dengan sesama santri maupun dengan para kiai atau ustadz dengan menggunakan bahasa Arab pada waktu-waktu tertentu untuk para santri pemula. Kepada mereka diberikan perbendaharaan kata-kata bahasa Arab yang sering dipergunakan untuk dihafalkan sedikit demi sedikit sehingga mencapai target yang telah ditentukan untuk jangka waktu sekian, setelah para santri telah menguasai kosa kata bahasa Arab, kepada mereka diwajibkan untuk menggunakannya dalam percakapan-percakapan sehari-hari. Pada pesantren metode latihan bercakap-cakap dengan bahasa Arab ini hanyalah pelajaran tambahan bukan pelajaran pokok.

9.    Metode Mudzakarah
Metode Mudzakarah merupakan pertemuan ilmiah yang membahas masalah diniyah seperti ibadah aqidah dan masalah agama pada umumnya. Metode ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan metode musyawarah. Hanya bedanya terletak pada pesertanya, pada Metode Mudzakarah pesertanya adalah para kiai atau para santrinya tingkat tinggi.

10.    Metode Riyadhah
Metode Riyadhah merupakan salah satu metode pembelajaran di pesantren yang menekankan pada olah batin untuk mencapai kesucian hati para santri dengan berbagai macam cara berdasarkan petunjuk dan bimbingan kiai. Pembelajaran dengan metode ini sendiri sesungguhnya tidak ditujukan untuk penguasaan akan pengetahuan atau ilmu tertentu, tetapi sebagai sarana untuk pembentukan dan pembiasaan sikap serta mental santri agar dekat kepada Tuhan. Metode Riyadhah ini biasanya dipraktikkan pada pesantren-pesantren yang sebagian kiainya memiliki kecenderungan dan perhatian yang cukup tinggi pada ajaran tasawuf atau tarekat.

F.     Kurikulum Pendidikan Pesantren
Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin yaitu curriculum yang memiliki pengertian running cource dalam bahasa Inggris carier yang berarti to run. Istilah ini kemudian diadopsi dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran (couse) yang harus ditempuh untuk mencapai suatu gelar penghargaan dalam dunia pendidikan yang dikenal sebagai ijasah. Sedangkan menurur H.M. Arifin definisi kurikulum diperluas tidak sebatas pada mata pelajaran tetapi seluruh program sekolah yang mempengaruhi proses belajar mengajar baik langsung dalam sekolah maupun luar sekolah. Demikian pula menurut Nur Uhbiyati bahwa kurikulum memiliki tiga pengertian, yaitu:
a.       Kurikulum adalah program pendidikan yang terdiri beberapa mata pelajaran yang diambil anak didik pada suatu jenjang sekolah
b.      Kurikulum adalah semua pengalaman yang diperoleh anak selama belajar di sekolah.
c.       Kurikulum adalah rencana belajar siswa guna mencapai tujuan yang telah di tetapkan.

Sehingga kurikulum dapat meliputi kegiatan-kegiatan intra kurikuler, kokurikuler dan ekstra kulikuler serta aktivitas para santri maupun aktivitas para kiai sebagai pendidik atau guru. Hasil penelitian Van Den Berg yang dikutip Karel. A. Steenbrink menyatakan bahwa pada abad 19 kurikulum atau materi pendidikan pesantren masih sulit di rinci, namun secara implisit masih berkisar pada materi fiqih, tata bahasa, tafsir, tasauf. Hal ini dapat dipahami bahwa pada saat itu proses belajar mengajar pendidikan Islam masih berlangsung di mushola, masjid, surau. Kurikulum pengajian masih sederhana yaitu berupa pengajaran agama Islam yang meliputi Iman, Islam, Ikhsan.
Jenis pendidikan “pesantren” bersifat nonformal, hanya mempelajari ilmu-ilmu agama yang bersumbar pada kitab-kitab klasik. Adapun mata pelajaran sebagian pesantren terbatas pada pemberian ilmu yang secara langsung membahas masalah Aqidah, Syariah dan Bahasa Arab antara lain: Al-Qur’an dengan tajwid dan tafsirnya; Aqaid dan Ilmu Kalam; Fiqih dan Usul Fiqih; Hadist dan Mustahalah Hadist; Bahasa Arab dan ilmu alatnya seperti Nahwu, Sharaf, Bayan, Ma’ani, Badi’ dan Araudl tarikh, Manthiq dan Tasauf.
Kurikulum dalam jenis pendidikan “pesantren” berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab jadi ada tingkat awal, tingkat menengah, dan tingkat tinggi yang disesuaikan dengan kemampuan santri dengan pedoman bahwa sebelum anak belajar lebih lanjut minimal mereka mempelajari kitab-kitab awal keagamaan. Di antar kitab kuning populer yang digunakan sebagai bagian kurikulum antara lain:
·         Kitab Dasar
Yang termasuk kitab dasar adalah Bina’ (sharaf), awamil (nahwu), Aqidat al-Awal (akidah), dan Washaya (akhlak).
·         Kitab Menengah
Untuk kitab menengah meliputi Amtsilat al-Tasrifiah (sarf/Tsanawiyah), Kailani, Maqshud (sarf/Aliyah), Jurumiah, Imriti, Muthamimah (nahwu/ Tsanawiyah), Alfiah Ibn Aqil (nahwu/ Aliyah), Taqrib, Safinah, Sulam Taufiq (fiqih/ Tsanawiyah), Bayan (ushul fiqh/Tsanawiyah), Fath al-Mu’in, Fath Qarib, Fath al-Fahab, Mahalli Tahrir (fiqih/Aliyah-Khawas); Sanusi Kifyat Awam, Jauhar al-Tauhid, al-Husun al-Hamidiyah (Akidah/Tsanawiyah) Dasuki (akidah/Aliyah), Tafsir Depag (Tsanawiyah), Jalalain, tafsir Munir, ibn Kasir, al-Itqon (tafsir –ulum tafsir/Aliyah-Khawas), Bulugh al-Maram, Shahih Muslim, Arbain Nawai, Baiquniyah, (hadits/tsanawiyah), Riyadh al-Shalihin, Darratu an Nasihin, Minhaj al-Mughis (Hadist-ulumul hadits/Aliyah),Ta’lim al-Mutaalim, Bidayah al-Hidayah (akhlak/Tsanawiyah) Ihya Ulumu al-Din, Risalah al-Muawanah(ahlak/Aliyah), Khulashah Nur al-Yakin (tarikh).
·         Kitab Besar
Kitab yang dipelajari kalangan khawas, antara lain kitab Jamu’ al-Jawami’, al-Nashibah wa al-Nadho’ir (ushul figh), Faht al-Majid (akidah), Jami’ al-Bayanli Ahkam al-Qur’an, al Manar (tafsir), dan Shahih Bukhari (hadist).

Disamping kurikulum yang bersumber dari kitab kuning tersebut, pesantren biasanya terdapat kegiatan kokurikuler yang menggambarkan tradisi kehidupan pesantren. Di antaranya literatur sumber kegiatan tersebut adalah kitab Manaqib Syaih Abdil Qadir Jailani dan Kitab Barzanji, yang berisi sejarah kehidupan nabi Muhammad S.A.W. Setiap bidang studi memiliki tingkat kemudahan kompleksitas pembahasan masing-masing, oleh karena itu evaluasi kemajuan belajar pada “pesantren” juga berbeda dengan evaluasi dari madrasah dan sekolah umum. Jenis pendidikan madrasah dan sekolah umum bersifat formal dan kurikulumnya mengikuti ketentuan pemerintah. Madrasah mengikuti ketentuan dari Depag dengan perbandingan 30% berisi mata pelajaran agama, dan 70% pelajaran umum, tetapi beberapa pesantren menggunakan perbandingan terbalik, dengan bobot perbandingan agak berbeda: 20% berisi pelajaran umum, 80% pelajaran agama.
Kurikuler pesantren sebenarnya meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan pesantren selama sehari semalam. Di luar pelajaran banyak kegiatan yang bernilai pendidikan dilakukan di pondok berupa latihan untuk hidup sederhana, mengatur kepentingan bersama, mengurusi kebutuhan sendiri latihan bela diri, dan ibadah dengan tertib dan riyadhah.

Jadi, kurikulum pesantren dalam rangka mencetak manusia yang beriman dan bertakwa, beraklakul karimah dan sebagainya diajarkan dalam kehidupan pesantren baik melalui pendidikan formal dan nonformal pesantren, kegiatan yang bersifat insidental dan nilai-nilai agama yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari pesantren atas bimbingan pengasuh (kiai) untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan.


DAFTAR PUSTAKA
Dhofier, Zamahsyari. 1984. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS.
Ziamek, Manfret. 1986. Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel. Butche B. Soendjojo, (Penj). Jakarta: Guna Aksara.
Bakhtiar, Nurhasanah. 2009. Pola Pendidikan Pesantren: Studi Terhadap Pesantren se-Kota Pekanbaru. [online]. Tersedia : http://uinsuska.info/tarbiyah/images/jurnal/2009/nurhasanah_pola.pdf. [4 November 2016]

Share on Google Plus

About Me intan dalam sejarah

Nama saya Rizal Saeful Azhar tinggal di Kp. Sukamenak RT 04/03, Desa Margamukti, Kec. Pangalengan Kab. Bandung, Prov. Jawa Barat, 40378. Status saya saat ini sebagai Mahasiswa STKIP Persatuan Islam Bandung Jurusan Pendidikan Sejarah. Rekan-rekan bisa menghubungi saya lewat No. Ponsel 083151919236, Email rizalazhar8@gmail.com, PIN BB 5ACOED57.

0 komentar:

Post a Comment