HADIST
NABI DALAM LINTASAN SEJARAH
(Periodisasi dan Pertumbuhan Hadist)
Al-Quran dan Hadist
merupakan sumber hukum Islam yang mengatur semua aspek kehidupan umat muslim
dalam menjalankan aktivitas baik dalam hal beribadah kepada Allah swt. maupun dalam melakukan hubungan
sosial dengan sesama manusia (Muamalah). Di
dalamnya termaktub segala bentuk perintah dan larangan untuk umat muslim dalam
perihal kehidupannya sehari-hari dari mulai bangun sampai tidur kembali. Inilah
luar biasanya sumber hukum Islam semuanya jelas, lugas dan selalu memberikan
solusi yang bijak ketika terjadi kebingungan ditengah-tengah kehidupan.
Umat Islam harus
senantiasa selalu berpedoman kepada dua sumber hukum tersebut (Al-Quran dan
Hadist) karena dengan berpegang kepada keduanya umat Islam tidak akan pernah
tersesat di tengah derasnya arus kehidupan di dunia. Sebagaimana Hadist Nabi saw. yang artinya “Sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda : “Aku telah meninggalkan
pada kamu sekalian dua perkara yang kamu tidak akan sesat selama kamu berpegang
teguh kepada keduanya, yaitu : Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (HR.
Malik).
Selain Al-Quran yaitu
Hadist yang merupakan sumber hukum kedua sangat penting untuk dikaji karena
kedudukan Hadist sangat penting dalam hal menjelaskan hukum-hukum yang masih
bersifat global atau umum dalam Al-Quran. Umat Islam dan kaum muslimin telah
bersepakat bahwa Hadist merupakan salah satu sumber syariat Islam yang patut
dijadikan rujukan peraturan dan petunjuk hidup (Mashudi, 2012: 17).
Sebelum kita memperdalam
untuk mempelajari Hadist Nabi SAW. dipandang penting untuk kita mengetahui
bagaimana sejarah pembentukan Hadist atau periodisasi perkembangan Hadist Nabi
SAW. Karena sejarah perkembangan Hadist, telah melalui masa yang cukup panjang,
maka para ulama mengadakan pembagian periodisasi. Dalam kitab sejarah dan perkembangan Hadist,
ulama berbeda-beda dalam mengadakan periodisasi itu. Hal tersebut disebabkan,
karena perbedaan pengelompokan data sejarah yang ada karena berlainan
peninjauannya.
Berikut ini, dikemukakan
tentang periodisasi yang telah disusun oleh para ulama, yakni:
1.
Periode menurut Dr. Muhammad Musthafa Al-A’Zhamy
Dalam
kitabnya yang berjudul Studies in Early
Hadist Literature, Muhammad Musthafa Al-A’Zhamy telah menyusun periodisasi
sejarah dan perkembangan Hadist, sebagai berikut:
1.1 Pra Classical
Hadist Literature (Masa sebelum
Pendewanan Hadist)
Yakni
periode sebelum dibukukannya Hadist.
Masa ini, terjadi mulai zaman Nabi saw. sampai berakhirnya abad pertama Hijry.
Periode ini, dibagi kepada 4 (empat) fase, yakni:
Pertama :
Fase aktifnya para Sahabat menerima dan
menyampaikan Hadist.
Dalam fase ini
ada sekitar 50 orang sahabat yang aktif.
Kedua : Fase aktifnya para tabi’in menerima dan
meriwayattkan Hadist dari
para Sahabat. Dalam fase ini , ada 48 orang Tabi’in
yang terhitung
aktif.
Ketiga : Fase aktifnya para Tabi’it Tabi’in menerima dan meriwayatkan Hadist
dari para
Tabi’in. Dalam fase ini, ada sekitar 86 orang Tabi’it Tabi’in
yang terhitung
aktif.
Keempat : Fase aktifnya para guru dan ulama Hadist, mengajar
di madrasah-
madrasah
daerah Islam. Dalam fase ini, ada sekitar 256 orang
guru/ulama
yang aktif.
1.2 The Learning And
Transmitting Of Hadist (Masa Pengajaran
dan Penyebaran Hadist)
Periode
ini, mulai sejak abad II Hijry, yakni sejak dikeluarkannya perintah resmi dari
Khalifah Umar bin Abdul Aziz untuk membukukan Hadist. Periode ini terbagi ke dalam 3 (tiga) fase. Yakni:
Pertama : Dalam fase ini:
a.
Ahli Hadist, dalam
menyusun kitab-kitab Hadist, memuat juga ayat Al-Quran, atsar-atsar Sahabat dan
Tabi’in.
b.
Di semua kota
besar yang masuk dalam daerah Islam, ada ahli-ahli Hadistnya yang terkenal.
Kedua : Fase sampai awal abad III Hijry.
Dalam fase
ini:
a.
Kitab-kitab
Hadist, khusus hanya memuat Hadist Nabi saja.
b.
Susunan Hadist
yang termaktub dalam kitab Hadist, ada yang berdasarkan topik pembahasan
masalah dan ada yang berdasarkan nama-nama Sahabat yang meriwayatkannya.
Ketiga : Fase pada abad II Hijry dan seterusnya.
Dalam fase ini, perkembangan Hadist, dari
segi pendewanannya, telah
mencapai
puncaknya yang tertinggi. Ilmu-ilmu Hadist, pada fase ini
juga telah
mengalami kemajuan yang pesat.
2.
Periode Menurut Dr. Muhammad Abdur Rauf
Periode
tentang sejarah dan perkembangan Hadist, menurut Dr. Muhammad Abdur Rauf,
dibagi menjadi 5 (lima) macam. Yakni:
2.1 Marhalatu
Asshohiifah, yaitu periode penulisan
Hadist-hadist Rasul pada
Shahifah-shahifah. Misalnya, pada pelepah kurma, kulit kayu dan tulang-tulang
hewan. Periode ini terjadi, pada zaman Nabi. Pada periode ini, secara umum,
penulisan Hadist dilarang, tetapi secara khusus diizinkan. Hal ini, demi
pemeliharaan kemurnian Al-Quran.
2.2 Marhalatu Almushonnafi, yaitu periode penulisan kitab-kitab Hadist yang
umumnya berdasarkan masalah yang sedang dibicarakan. Misalnya, kitab
“Al-Muwattha” yang disusun oleh Imam Malik. Periode ini dimulai sejak
Rasulullah wafat, sampai pertengahan abad II Hijry. Menurut Maulana
Muhammad Ali, sampai akhir abad I Hijry.
2.3 Marhalatu
Almusnadi, yaitu periode penulisan
kitab-kitab Hadist, berdasarkan urutan sanadnya. Misalnya, kitab “Al-Musnad”
yang disusun oleh Imam bin Hambal. Periode ini, terjadi pada abad II Hijry,
yang dimulai sejak adanya perintah resmi kenegaraan yang dibuat oleh Khalifah Umar
bin Abdul Aziz tentang pendewanan Hadist.
2.4 Marhalatu
Asshohiihi, yaitu periode tersusunnya
kitab-kitab Hadist berkualitas Shahih.
Misalnya, kitab Al-Jamius Shahihnya Imam Bukhari dan Imam Muslim. Periode ini dimulai sejak abad III Hijry sampai
pertengahan abad IV Hijry.
2.5 Marhalatu
Attahliyyati atau Marhalatu Assyarhi wa attahliili, yaitu periode tersusunnya
kitab-kitab Hadist yang berisi penjelasan dan komentar terhadap kitab-kitab
Hadist yang telah ada, khususnya terhadap “Al Kutubus-Sittah”.
Larangan Menulis
Hadist
Di masa Rasulullah masih hidup, Hadist
belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti Al-Quran (Rahman,
1974: 46). Karena pada saat fokus perhatian utama Rasulullah dan para Sahabat adalah
menghimpun ayat-ayat Al-Quran. Kenyataan membuktikan bahwa masa wurudnya
Hadist-hadist Rasulullah itu berbarengan dengan masa turunnya ayat-ayat
Al-Quran (Mashudi, 2012: 55). Rasulullah berserta dengan para Sahabat dengan
gigih bekerja keras untuk menjaga dan memelihara keutuhan Al-Quran dengan
berbagai cara. Ada yang menggunakan
metode hafalan, ditulis di atas suatu objek seperti pelepah kurma, kulit kayu,
batu ataupun objek-objek lain dirasa memungkinkan untuk ditulis.
Namun berbeda dengan Hadist. Ia belum
memperoleh perhatian sepenuhnya seperti perhatian mereka terhadap Al-Quran.
(Mashudi, 2012: 56). Bahkan pada masa itu ada larangan untuk menulis Hadist
kepada para Sahabat sebagai mereka menulis
ayat-ayat Al-Quran. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. “Janganlah kamu tulis sesuatu yang telah kamu
terima dariku selain Al-Quran. Barang siapa menuliskan yang ia terima dariku
selain Al-Quran hendaklah ia hapus. Ceritakan saja yang kamu terima dariku,
tidak mengapa. Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah
ia menduduki tempat duduknya dineraka (HR. Muslim).
Larangan penulisan Hadist tersebut ialah
untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu
memasukkan Hadist ke dalam lembaran-lembaran tulisan Al-Quran, karena
dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah saw. adalah wahyu semuanya
(Rahman, 1974: 47). Sehingga yang sangat dikhawatirkan adalah tercampurnya
antara ayat-ayat Al-Quran dengan Hadist Nabi. Dengan latar belakang itulah,
tampaknya dapat dipahami mengapa saat itu Rasulullah SAW. melarang secara tegas
kepada para sahabatnya untuk menuliskan Hadist-hadist beliau yang umumnya telah
terpatri pada ingatan serta hafalan mereka (Mashudi, 2012: 58).
Perintah Menulis
Hadis
Di samping Rasulullah saw. melarang
menulis Hadist, beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis Hadist
(Rahman, 1974: 47). Sejarah telah mencatat adanya beberapa naskah tulisan
Hadist yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan tabi’in. Para sahabat
yang mempunyai naskah Hadist, diantaranya Abdullah
bin ‘Amr bin ‘Ash r.a dan Jabir bin
‘Abdullah Al-Anshary r.a.
Dengan adanya dua nash yang berbeda itu
(nash yang pertama sebagai larangan menuliskan Hadist, sementara nash kedua
memberi perintah), maka muncul berbagai tanggapan dari beberapa ulama ahli
Hadist, antara lain:
a.
Dr. Muhammad ‘Ajaj
al-Khatib berpendapat bahwa larangan menuliskan Hadist itu adalah berlaku umum,
sedangkan perintah atau perizinan menuliskannya berlaku khusus, yakni hanya
berlaku baerlaku bagi orang yang mempunyai kemahiran tulis-menulis.
b.
Dr. Musthafa Al-Shiba’i
berpendapat bahwa larangan menuliskan Hadist itu maksudnya larangan
melembagakannya secara resmi seperti halnya Al-Quran, sedangkan perizinannya
itu merupakan suatu kelonggaran menuliskannya dalam hal-hal tertentu.
c.
Ulama Hadist
lainnya mengatakan bahwa adanya larangan menuliskan Hadist terjadi pada masa
permulaan Islam dan bertujuan untuk memelihara agar tidak tercampurnya Hadist
dengan ayat-ayat Al-Quran. Namun, setelah Islam berkembang dan jumlah kaum
muslim semakin banyak yang mengenali Al-Quran, maka nash yang melarang
menuliskan Hadist itu telah dinaskh (dianulir) oleh nash yang memerintahkan
penulisannya. Dengan demikian hukum menuliskan Hadist itu adalah boleh.
Sistem Meriwayatkan Al-Hadist
Para sahabat tampak antusias sekali akan
perintah dan ucapan-ucapan Rasulullah. Mereka setiap hari selalu bergiliran
menghadiri majelis beliau, karena majelis beliau bukan hanya dikunjungi oleh
sahabat dari wilayah setempat, melainkan dikunjungi pula oleh para sahabat dari
luar Madinah (Mashudi, 2012: 53). Ada beberapa sistem meriwayatkan hadist
diantaranya dengan lafadh yang masih asli dari Rasulullah saw dan dengan
maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya. Hal itu disebabkan karena mereka sudah tidak ingat betul
kepada lafadh aslinya, di samping mereka hanya mementingkan dari segi isinya
yang benar-benar dibutuhkan saat itu. Sistem meriwayatkan Hadist dengan
maknanya saja, tidak dilarang oleh Rasulullah saw. berlainan dengan Al-Quran susunan
bahasa dan maknanya, sedikit pun tidak boleh diubah, baik dengan mengganti
lafadh muradlif (sinonim)-nya yang mempengaruhi isinya, teristimewa kalau
sampai membawa perbedaan makna.
Kebiasaan lainnya yang dilakukan oleh para
sahabat dalam memperoleh Hadist adalah dengan cara bertanya kepada istri-istri
Rasulullah, terutama terkait dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan
urusan keluarga dan rumah tangga. Karena berkeyakinan bahwa isteri-istri
beliaulah yang paling banyak mengetahui soal-soal tersebut.
Kesungguhan hati para sahabat seperti itu
yang dilandasi dengan keimanan dan mental keagamaan yang cukup kuat dalam
mencari ilmu dan mengamalkannya, hingga mampu mempengaruhi jiwanya. Oleh karena
itu mereka dapat dengan mudah menghafal setiap ajaran yang diterimanya dari
Rasulullah SAW. Hadist-hadist yang berasal dari Rasulullah yang dipahami oleh
para sahabat ternyata tidak seluruhnya
sama, tapi ada pula perbedaannya, hal itu dikarenakan berbedanya kekuatan daya hafal dan persepsi atau sudut pandang
yang digunakan oleh mereka terhadap perilaku maupun sabda Rasulullah. Akibatnya
tidak sedikit dari mereka yang tidak dapat membedakan mana Hadist yang mansukh (telah dihapus/digantikan) dan
mana pula Hadist yang nasikh (menggantikan)
nya. antara Hadist yang khas (khusus)
dengan Hadist yang ‘am (umum), bahkan antara Hadist yang muqayyad (dikecualikan) dengan Hadist yang mutlak (general).
DAFTAR PUSTAKA
Ismail, M. Syuhudi. 1991. Pengantar Ilmu Hadist. Bandung: Angkasa
Mashudi, Didi. 2012. Hadist Nabi dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Sagara Publishing
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahul Hadist. Bandung: PT. Alma’arif
0 komentar:
Post a Comment